Rabu, 21 September 2011

Bijak dalam memberi nasihat dan kritik

Bijak dalam memberi nasihat dan kritik Oleh : Maikel “ Demi masa. Sesungguhya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran." (QS. Al-Ashr : 1-3) Nasehat dalam Al Qur’an Makna dari nasihat adalah ‘menyuruh kebajikan dan melarang kemungkaran’, yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan perbuatan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT dan mengajaknya untuk tidak melakukan perbuatan yang malah dapat menjauhkan diri dariNya. Dan merupakan tugas setiap muslim baik perempuan maupun laki-laki untuk saling nasihat menasihati seperti dalam firman-Nya : “Dan hendaklah ada dari antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Ali Imran 4: 104). Dalam perjalanan hidup, nasehat-menasehati merupakan pilar yang sangat utama, bahkan merupakan kewajiban bagi orang yang beriman setiap waktu. Hal ini dapat dilihat dari surah Al Ashr tersenut diatas. Surah ini merupakan pegangan paling kuat dalam menjalankan nasehat-manasehati. Bahkan Imam Syafiie, seorang ulama fiqih yang masyhur itu, menyatakan bahwa, jika al-qur’an pun hanya surah al ashr, maka cakupan maknanya sudah cukup. Dalam surah ini Allah swt bersumpah atas nama waktu (Ashr). Secara bahasa ashr bermakna memeras dan menekan sesuatu hingga apa yang di dalam sesuatu itu keluar. Maka ashr menjadi nama suatu waktu dimana orang yang kerja seharian memeras keringat mulai terbit matahari, pekerjaannya itu telah mulai menampakkan hasil. Dan waktu menampakkan hasil itulah disebut waktu ashr. Dan memang dalam kehidupan keseharian adalah demikian, dimana orang kerja dari pagi buta makan hasilnya akan tampak maksimal di waktu ashr. Demi waktu sesungguhnya manusia itu dalam kondisi husrin, apapun hasilnya dari memeras keringat seharian atau sepanjang waktu hidupnya, baik itu sukses atau gagal, kaya atau pun miskin, maka sudah disumpah oleh Allah swt, pasti husrin. Husrin ini biasanya diterjemahkan dalam arti merugi, padahal sesungguhnya husrin ini adalah mencakup semua makna yang berkaitan dengan rugi yakni bangkrut, menderita, kolaps, sedih, susah, sengsara dan semua kondisi yang serupa sesungguhnya dicakup dalam kata husrin. Apapun hasil kerja sepanjang hidupnya pasti dalam keadaan husrin. Namun Allah swt memberikan pengecualian yang ditunjukkan pada ayat sesudahnya di surah al ashr ini. Pengecualian ini adalah pada orang yang beriman dan beramal shalih dan saling menasehati dalam al haq dan saling menasehati dalam kesabaran. Jika ditelaah lebih lanjut, orang yang beriman memang tidak lagi merugi tetapi belum beruntung, karenanya ayat itu dilanjutkan dengan kata ‘wa’ yang artinya dan , yakni beramal shalih. Orang yang beriman dan beramal shalih pun belum beruntung, karena ayat itu masih dilanjutkan dengan kata ‘wa’ yakni saling menasehati dalam al haq. Dalam hal ini terjemahan al-Qur’an disebutkan saling menasehati dalam kebenaran, namun jika ditilik lebih dalam maka Al Haq adalah salah satu dari Asma’ul husna, artinya al Haq adalah nama Allah , sehingga watawasau bil haq dapat diartikan lebih spesifik yakni saling menasehati agar senantiasa di jalan Allah (jalan al Haq) . Tentu dalam hal ini bermakna dakwah, sebab saling menasehati agar senantiasa di jalan Allah adalah dakwah. Namun demikian, orang yang berdakwah setelah beriman dan beramal shalih pun belum akan memperoleh keberuntungan, sebab ayat itu masih dilanjutkan dengan kata ‘wa” tawassau bisshabr. yang artinya adalah saling menasehati dalam hal kesabaran. Jika dianalisa maka arti maknanya adalah saling menasehati agar senantiasa sabar dalam menjalani hidup beriman dan beramal shalih, dan sabar dengan jalan hidup berdakwah. Memang kata yang digunakan dalam surah ini adalah tawasau, artinya saling memberi wasiat . Dengan demikian nasehat pun sesungguhnya identik dengan wasiat. Nasehat dalam Hadits Dari Abu Ruqoyah Tamim Ad Daari radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Agama adalah nasehat, kami berkata : Kepada siapa ? beliau bersabda : Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya dan kepada pemimpan kaum muslimin dan rakyatnya. (Riwayat Bukhori dan Muslim). Ini menekankan bahwa nasehat merupakan jalan hidup, merupakan pilar utama dalam islam. Bagaimana sikap dalam menasehati Dalam Al-qur’an, kisah tentang bagaimana menasehati ini termaktub dalam kisah Musa as diperintah oleh Allah untuk mendatangi Fir’aun. Musa as diperintahkan oleh Allah untuk memberikan nasehat dakwahnya kepada Fir’aun dengan ‘’qaulan layyinan” perkataan yang lembut. Bagaimana caranya memberi nasehat kepada manusia yang sangat tegas kekafirannya dan menjadi puncak lambang kekafiran, pun dengan qaulan layyinan. Maka dari situlah nabi Musa as berdoa dengan Rabis rahli sadri wayasrlii amrii……… Jika memberi nasehat kepada orang sesama muslim maka pedomannya adalah dengan perkataan yang lembut dan ‘adzilatin alal mukminin” – bersikap lemah lembut kepada orang mukmin . Bahkan dalam hadits rasulullah mengajarkan kita untuk bersuara dengan nada yang tidak lebih tinggi dari saudara sesama muslim. Banyak keutamaan yang didapat dari merendahkan nada suaranya, dan meninggikan nada suaranya menunjukkan mudahnya dijangkiti penyakit sombong. Bahkan suara yang nadanya tinggi diserupakan dengan serengaian keledai. Terkisah banyak sahabat yang sedih dan mengurungkan diri di dalam kamarnya beberapa hari setalah turun ayat yang menyuruh ‘rendahkanlah suaramu di hadapan rasulullah” karena para sahabat merasa selama ini menggunakan nada tinggi dihadapan rasulullah. Bagaimana Mengkritik dalam berdakwah Menasehati dalam dakwah, pun tidak terlepas dari tuntunan Al Quran. Cara berdakwah disebutkan adalah, dengan bil hikmah wal mauizatil hasanah wa jadilhum billati hiyal ahsan . Jika ditilik dari urutan teksnya maka dalam memberikan nasehat dakwahnya yang pertama adalah dengan hikmah. Ini adalah dakwah yang paling pertama yang hendaknya digunakan. Jika dengan hikmah orang sudah bisa menerima dakwah maka tidak perlu sampai menggunakan mauizatil hasanah (nasehat yang baik/ bijak) apalagi dengan jidal (mengadu argument), meskipun dengan jidal yang terbaik sekalipun. Bila dakwah dilakukan dengan cara terbaik yang mendahuluhan nasehat yang bijak sebelum hikmah, maka sesungguhnya tidak akan efektif dan tidak methodis, disamping kurang dalam nilai etika dakwahnya. Apalagi jika dakwah dilakukan dengan pertama kali jidal tentu tidak akan menuai hasil yang baik. Meskipun kapan menggunakan hikmah, kapan menggunakan mauizatil hasanah dan kapan menggunakan jidal itu tergantung situsi kondisi dan juga objek dakwahnya. Jika ditelaah lebih lanjut, hikmah sangat bagus digunakan untuk orang yang lebih muda kepada orang tua, mad’u yang tidak sedang melakukan khilaf, juga kepada orang yang dihormati. terkisah ada seorang ulama yang sangat sedih dan sangat merasa kehilangan ketika putranya meninggal, sampai berlarut-larut. Maka memberikan nasehat kepadanya adalah dengan hikmah, dengan pertanyaan; “bagaimana pendapat Anda wahai ulama, jika seseorang dititipin emas oleh penitip dan emas itu diambil kembali oleh yang empunya? apakah perlu sedih berlarut-larut dan tidak ikhlas?, maka sang ulama tersadar akan pertanyaan itu atas kematian putranya dengan menjadi ikhlas. Tidak elok jika memberikan mauizail hasanah kepada ulama itu. Di dalam mengelola taklim pun demikian, audience akan lebih merasa dihargai jika penceramah lebih mengedepankan hikmah daripada mauizatil hasanah. Potensi dan kegemaran menasehati perlu ditahan dalam hal ini dengan lebih melebarkan cara, topik dan tema-tema yang masuk dalam wilayah hikmah. Mauizatil hasanah (nasehat yang bijak) diberikan kepada orang yang sedang khilaf, kepada orang yang lebih muda, kepada murid, kepada orang yang posisinya lebih bawah. Misal seorang ayah kepada anaknya, atau guru kepada muridnya. Termasuk dalam kategori tidak begitu beradap jika seorang anak meggunakan mauizatil hasanah kepada bapaknya, istri menggunakannya kepada suaminya, seorang mutarabi kepada murobinya, seorang murid kepada ustadznya. Jidal ahsan dilakukan jika cara hikmah dan mauizatil hasanah tidak mempan, ini pilihan terakhir. Da’i yang gemar jidal dan menjadikan jidal sebagai cara awal untuk berdakwah, biasanya mad’u akan lari dan tidak menerima dakwah, terkadang malah menjadi sinis. Jika pun berhasil maka akan menghasilkan dai-dai yang suka jidal dan tidak efektif membawa masyarakat secara luas menjadi mukmin. Di sinilah Ust Hasan Al Bana menyampaikan slogan likulli maqal maqam wa likulli maqam maqal, setiap tempat ada perkataan yang pas dan setiap perkataan ada tempat-tepatnya yang pas. Bagaimana dengan mengkritik ?. Maka mengkritik adalah bagian dari mauizatil hasanah, bukan bagian dari hikmah, meskipun ada sebagian orang yang bisa mengemas kritik dengan hikmah. Demikian juga dalam konsep bermasyarakat, ada Roin dan ada Rokyah, yang secara arti adalah ada pemimpin dan ada rakyat, yang keduanya ada hak dan kewajiban. Dalam hal ini roin berkewajiban mensejahterakan rakyat dan memiliki hak untuk ditaati, dan rakyat memiliki hak untuk disejahterakan dan berkewajiban mentaati roin. Jika roin tidak mensejahterakan rakyat maka rakyat pun menjadi tidak taat kepada roin. Dalam hubungan nasehat, maka roin memberi perintah kepada rakyat dan rakyat bisa mengkritik pemimpin. Tidak bisa sebaliknya misalnya pemerintah mengkritik rakyatnya atau rakyat memerintah roinnya, yang ada adalah rakyat mengkritik dan menuntut roinnya. Hal ini sama dengan hal dalam rumah tangga, suami sebagai pemimpin tidak mengkritik istrinya, tetapi istrinya yang mengkritik suaminya. Jika suami tidak siap dikritik istri maka kadar kepemimpinannya sangat rendah, demikian juga jika istri tidak mau diperintah suami, maka juga demikian. Dalam hubungan pemerintah juga demikian, oposisi mengkritik pemerintah dan tidak bisa sebaliknya pemerintah mengkritik oposisinya. Dengan demikian orang yang suka mengkritik biasanya memiliki kadar kepemimpinan yang tidak tinggi dan tidak menjadi pemegang kebijakan tetapi biasanya menjadi oposan. Oposan biasanya mengkritik dan tidak siap dikritik. Jika seseorang siap dikritisi adalah seseorang yang siap jadi pemimpin, jika tidak siap maka tidak siap mengelola suatu amanah. Jika seorang roin tidak siap menerima kritik rakyatnya maka sungguh aneh dan apalagi roin mengkritik rakyatnya akan lebih aneh lagi. Dalam mengkritisi pun tidak lepas dari kaidah qaulan layyinan, hikmah dan mauizatil hasanah serta jidal sebagai jalan akhir. Siap menerima kritikan berarti siap menjadi pemimpin. Terkadang dalam mengkritik yang dikritik dalam pengelolaan pemerintahan, atau suatu organisasi, terkadang personal roinnya. Orang yang kritis biasanya ditempatkan pada posisi oposisi bukan eksekutif, dan biasanya tidak diterima di eksekutif karana belum imbangnya dengan kesiapan untuk dikritisi. Dan dari sana ia memberikan manfaat, sebagai penyeimbang. Gawatnya, ketika memberikan nasihat kita semangat, ketika memberikan saran semangat, ketika memberikan koreksi semangat, akan tetapi ketika giliran kita dikoreksi justru kita tidak sanggup menerimanya. Oleh karena itu kepada siapapun yang akan memberikan nasihat, syarat utamanya adalah kita harus menjadi orang yang terlatih untuk menerima nasihat, terlatih untuk menerima kritik, dan terlatih untuk menerima koreksi.Sebelum kita sanggup untuk melatih diri kita, sulit sekali kita dapat memberi nasihat yang memiliki kekuatan yang menggugah dan memberi perubahan. Nah, secara sederhana di sini ada beberapa kiat yang dapat kita terapkan dalam menerima nasihat atau kritik agar dapat menjadi sarana pembangunan kemuliaan. Pertama, rindu kritik dan nasihat. Kita harus memposisikan diri menjadi orang yang rindu dikoreksi, rindu dinasihati, seperti rindunya kita melihat cermin agar penampilan kita selalu bagus. Walaupun wajah yang ada dalam cermin adalah wajah yang itu-itu juga, namun kita tidak pernah keberatan untuk merapikan rambut, manakala cermin memperlihatkan gambar rambut yang acak-acakan. Kita pun tidak pernah marah kepada cermin bila di cermin kita melihat di mata kita ada kotoran. Reaksi kita adalah membuang kotoran itu dan bukan memecahkan cermin. Ketahuilah, orang-orang di sekitar kita adalah cermin yang memberitahukan apa kekurangan kita. Sehingga sepatutnyalah kita bergembira ketika ada yang memperlihatkan kekurangan kita, karena dengan demikian kita menjadi tahu dan dapat segera memperbaiki diri. Kedua, cari dan tanya. Belajarlah bertanya kepada orang tentang kekurangan-kekurangan kita dan belajar pula untuk mendengar dan menerima kritik. Milikilah teman yang mau jujur mengoreksi, tanya pula kepada istri, suami, anak-anak, karyawan dan lain-lain. Ketiga, nikmati kritik. Persiapkan diri menghadapi kenyataan bahwa kritik tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Kritik selain mengandung isi juga melibatkan cara. Kadang isinya benar tetapi caranya kurang bijak. Ada yang isinya salah tetapi caranya benar. Ada yang isi maupun caranya salah. Adapula yang isi dan caranya juga benar. Namun tidak ada kerugian sedikitpun bagi kita selama cara kita menyikapinya benar. Dengarkan dengan baik dan jangan memotong apalagi membantah. Keempat, syukuri. Adanya orang yang peduli dengan memberikan kritik kepada kita merupakan karunia yang patut disyukuri. Jangan lupa mengucapkan terima kasih. Bila kita berubah menjadi lebih baik melalui nasihat seseorang, jangan lupakan ia dalam doa kita dan sebutlah namanya ketika kita menyampaikan nasihat yang sama kepada orang lain. Nikmati kritik itu sebagai karunia Allah, karena seseorang tidak akan mati karena dikritik. Kelima, perbaiki diri. Lihatlah apakah benar ada kekurangan pada diri kita. Jawaban terbaik ketika dikoreksi bukanlah membela diri tetapi memperbaiki diri. Sibukkan diri dengan mendengar kritik dan iringi dengan memperbaiki diri. Memang orang yang lemah, orang yang sombong, orang-orang yang penuh kebencian, tidak pernah tahan terhadap kritik. Jika ada yang mengkoreksi maka dirinya sibuk untuk membela diri, sibuk untuk berpikir dan sibuk untuk membalas, ketahuilah bahwa orang yang demikian itu tidak akan bisa maju. Lalu bagaimana jika lalu kita dihina terus? Jangan risau! Karena semua orang yang sukses dan mulia itu pasti ada yang menghina. Tidak akan pernah didengki kecuali orang yang berprestasi. Keenam, balas budi. Sebagai orang yang tahu terima kasih dan menghargai sebuah pemberian, sudah selayaknya kita membalas pemberian kritik itu sebagai pemberian hadiah pula. Kalau tidak mampu memberikan sesuatu yang berharga, paling tidak sebuah ucapan terima kasih yang tulus dan doa yang ikhlas. Saudaraku, nasihat yang baik yang boleh kita sampaikan adalah nasihat yang benar, mengandung muatan positif dan tentunya penuh makna dan manfaat bagi semua orang yaitu mengajak pada kebajikan dan menjauhi kemunkaran yang berdasarkan Al Quran dan As Sunnah. Dan bukanlah sebaliknya, menganjurkan kemungkaran dan melarang untuk mengerjakan kebajikan. Sebagai catatan, apapun yang kita sampaikan jika itu benar, alangkah baiknya jika cara menyampaikannya pun benar. Dengan nasihat kita harus membantu yang lupa agar menjadi ingat, membantu yang lalai agar menjadi semangat, yang tergelincir menjadi bangkit kembali, yang berlumur dosa menjadi bertobat, intinya kalau dilandasi niat yang baik akan melahirkan kebaikan juga. Ingatlah! Yang paling penting dari suatu nasihat, kritik, dan koreksi itu adalah niat yang mendasarinya. Kalau didasari niat ingin menjatuhkan, koreksi itu hanya akan menjadi pisau atau panah beracun.Harusnya nasihat kita itu dilandasi dengan rasa kasih sayang dan persaudaraan. Kalau niat sudah baik caranya juga harus benar. Nabi Muhammad Saw itu adalah seorang penasihat, tetapi nasihatnya itu betul-betul bil hikmah, semuanya penuh dengan kearifan dan kematangan. Beliau memperbaiki peradaban yang begitu keras dan berat justru dengan kelembutan. Pendek kata, kita butuh nasihat yang tulus dari hati yang penuh kasih sayang dengan kata-kata yang terpilih yang tidak melukai diiringi dengan sikap yang tidak menggurui, tidak mempermalukan, tidak memojokan, sehingga orang berubah bukan karena ditekan oleh kata-kata kita melainkan tersentuh oleh kata-kata kita. Sahabat-sahabat, marilah kita terus berlatih untuk menyayangi orang lain karena itulah sumber yang utama agar nasihat kita menjadi bijak dan penuh kemuliaan. Dan sebaik-baik nasihat adalah dengan suri tauladan, hancurnya orang-orang yang sibuk memberi nasihat adalah ketika apa yang dia katakan tidak sesuai dengan apa yang dia lakukan. Wallahu a’lam bishawab Jakarta, 21 September 2011 Sumber : 1. http://www.naqshbandibatam.org/keagamaan/artikel-dan-tulisan-islam/semangat-saling-menasehati.html 2. http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:6E-PVWNW6RMJ:abinabilah.wordpress.com/2009/07/26/bijak-dalam-menasehati/+materi:bijak+dalam+memberi+nasihat+dan+kritik&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id 3. http://haditsarbain.wordpress.com/2007/06/09/hadits-7-agama-adalah-nasihat/

Selasa, 13 September 2011

SubhanaLLah Ternyata Fenomena Facebook Sudah Disinggung di Al-Quran

DitoNews - Ternyata facebook sudah "diramalkan" kehadirannya sejak 14 abad yang lalu Dibaca Sampai Selesai ya.... Suatu ketika selepas Ashar di Masjid Al Hikam. Di salah satu pojok masjid tersebut terdapat Ranid dengan dua orang temannya yakni Ahmad dan Ilmi yang terlihat sedang mendiskusikan sesuatu. Kali ini tema yang diangkat seputar masalah I’jazul Quran (Mukjizat Al Quran). Diskusi yang berjalan cukup santai namun sarat akan ilmu. Ahmad adalah seorang mahasiswa salah satu PTS di Jakarta dengan program studi Matematika. Seorang calon pengabdi masyarakat dengan ilmunya. Ahmad selalu berupaya mengaitkan Al-Qur’an dengan bidang studinya matematika. Ahmad sering berkutat dengan angka-angka dalam Al-Qur’an. Ahmad pun memulai diskusi. “Subhanallah alquran itu bener-bener mukjizat. gw pernah baca di Internet bahwa ternyata kata Yaum (hari) di dalam alquran sebanyak 365 kata sama seperti jumlah hari dalam satu tahun, kata syahr (bulan) disebutin 12 kali sama kayak jumlah bulan dalam satu tahun, sab’u (minggu) disebutin 7 kali sama dengan jumlah hari per minggu. Belum lagi kata-kata yang berlawan kata. Misalnya ad dunya 115 kali, al akhiroh juga 115 kali. Malaikat 88 kali sedangkan asy syayathin 88 kali juga. Al hayat 145 kali begitupun dengan Al Maut yang juga 145 kali. Belum lagi angka 19 yang disebutin dalam alquran surat Al Mudatsir ayat 30. Sebetulnya masih banyak tapi mending antum liat di internet aja nafsi-nafsi, tinggal tanya mbah google ketik key word nya keajaiban angka dalam alquran,” Celoteh Ahmad sekaligus mengakhiri presentasinya. Tiba giliran Ranid memaparkan pengetahuannya seputar masalah mukjizat Quran. Ranid memang sangat menyenangi diskusi-diskusi tentang kajian Islam berhubung program studi Ranid adalah bahasa Arab yang ia geluti di salah satu Ma’had Lughoh di Jakarta. Maka ia akan memaparkan sepengetahuannya tentang I’jazul Quran dari sudut pandang bahasa. Setelah mengucapkan basmalah seraya memuji Allah dengan hamdalah, serta sholawat kepada Nabi SAW. Ranid pun mulai berkata “Mumtaz! ustadz Ahmad mantep dah penjelasannya, giliran ane ya? Gini jadi mukjizat kalo diliat dari segi bahasa maka secara sederhana dapat diartikan sebagai 'senjata' untuk melemahkan terhadap tantangan dakwah yang ada. Contoh di zaman nabi Musa AS berhubung waktu itu sihir sedang ngetrend-ngetrendnya maka Allah kasih mukjizat nabi Musa AS 'menyerupai' sihir, tapi bukan sihir, dengan tongkatnya yang terkenal. Bisa berubah jadi ular, ngebelah lautan, dsb. Trus di zaman nabi Isa AS berhubung waktu itu ilmu kedokteran lagi maju-majunya maka Allah kasih kepada nabi Isa AS mukjizat yang berhubungan dengan dunia pengobatan. Nah, di zaman Rasul SAW pada masa itu kaum jahiliyyah terkenal akan syairnya yang luar biasa Indahnya. Maka Allah pun memberikan kepada Nabi SAW berupa alquran sebuah mukjizat yang begitu sangat tinggi dan sarat akan nilai sastranya.” Ranid masih melanjutkan pemaparannya “bahkan Allah nantangin mereka kaum kafir untuk buat satu surat saja yang semisal dengan alquran. Coba ente berdua buka Al-Baqoroh ayat 23 'dan jika kamu meragukan Al-Quran yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) maka buatlah satu surat semisalnya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah jika kamu orang yang benar,' dan dilanjutan ayatnya, bahwa Allah sudah kasih garansi, mereka pasti gak akan mampu ngebuatnya. Pernah ada kisah tentang Musailamah Al-Kadzdzab yang coba-coba buat alquran tandingan. Salah satu suratnya niru-niru al-fiil. Dan surat gadungan itu ditertawakan banyak orang karena diliat dari sisi bahasa dan maknanya betul-betul jelek. Dan satu hal lagi cuma alquran kitab suci yang bisa dihafal oleh jutaan manusia walaupun manusianya itu sendiri pun tidak mengetahui arti alquran. Bahkan uniknya juga, hafalannya tersebut lengkap sampai titik dan komanya. Subhanallah maha benar Allah dalam firmanNya 'dan sungguh Kami mudahkan Al-Quran untuk peringatan' Al-Qomar ayat 17,” Ranid pun mengakhiri makalah yang dibawakannya. Selanjutnya giliran Ilmi yang mendapat giliran menjelaskan mukjizat quran berdasarkan studi yang ia geluti. Ilmi adalah seorang mahasiswa IT di salah satu PTS di Jakarta. Berbeda dengan kedua orang sahabatnya tadi, Ikhwan lajang ini tengah mengerjakan tugas akhir dalam perkuliahannya. Hal ini dikarenakan Ilmi terlebih dahulu kuliah selepas SMA daripada Ahmad dan Ranid yang sempat menunda jenjang akademisnya. Lengkap dengan stelan kacamata khas para hacker di film Hollywood, Ilmi pun memulai pembicaraannya. “sebenernya ane belum mau mengatakan ini mukjizat atau gak? terus terang ane gak berani. Tapi salah satu point yang pernah ane dengar dalam seminar Qur’an bahwa kenapa Qur’an disebut mukjizat tak lain dan tak bukan adalah karena kebenarannya dalam 'meramal' masa depan. Betul gak Ran?” Ilmi bertanya pada Ranid. Ranid pun mengiyakan pernyataan Ilmi dengan mengaggukan kepala, seolah tak mau kehilangan pemaparan dari Ilmi sahabatnya. Ilmi melanjutkan “surat al-lahab contohnya, di situ Allah memastikan bahwa Abu Lahab bakalan tetep kafir dan masuk neraka. Dan ketika surat itu turun di Mekkah, Abu Lahab ternyata masih hidup. Sekarang coba antum bayangin kalo seandainya Abu Lahab itu tergerak hatinya untuk masuk Islam atau pun pura-pura masuk Islam maka Al-Quran akan dipertanyakan kebenarannya dari dulu sampai sekarang. Ataupun di surat Ar-Rum di situ dijelaskan bahwa Romawi bakalan menang melawan Persia. Dan itu subhanallah terjadi beberpa tahun kemudian. Setelah pada peperangan yang sebelumnya Romawi kalah maka pada peperangan selanjutnya Romawi menang telak. Dan satu lagi peristiwa fathul Mekkah di surat Al-Fath. Allah memastikan kaum Muslimin akan memasuki Mekkah setelah sekian lama hijrah ke Madinah. Dan subhanallah hal itu terbukti.” Fenomena Al-Fisbukiyyah dalam Al-Qur'an “Ah itu mah dari aspek sejarah Mi, coba dari aspek IT sesuai sama studi ente?” Tanya Ranid seolah menantang Ilmi. “Weitss, tenang-tenang ane kan belum selesai jelasinnya, ana lanjut ya!” Jawab Ilmi. “Nah berhubung tadi ane bilang ana gak berani nyebut ini mukjizat atau nggak, maka ane akan bilang ini kehebatan Quran.” Ilmi masih melanjutkan, sementara kedua rekannya Ahmad dan Ranid masih terus diam dan menyimak kata per kata yang akan terlontar dari mulut Ilmi. “ente berdua tau gak, bahwa sejak 1400 tahun yang lalu alquran sudah menyinggung tentang Facebook dan kawan-kawannya?!” Ahmad sang Cagur (Calon Guru) tertegun diiringi dengan tertawa kecil seolah tak percaya statmen Ilmi. Lain lagi dengan Ranid yang masih berpikir dan mencari-cari bahwa apakah benar kata Facebook ada di dalam alquran. Dengan mencoba mentashrif pola-pola fi’il. Ilmi meneruskan kembali pemaparannya “Ahmad, coba ente berdua buka surat Al-Ma’arij ayat 19-21 "'Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan apabila mendapat kebaikan dia jadi kikir.' Ayat ini menjelaskan fenomena jama’ah "Al-Fisbukiyyah" secara umum. Coba ente-ente liat wirid-wirid mereka. Kebanyakan isinya keluh kesah. Temanya udah mirip sinetron mendayu-dayu sampai bikin air mata keluar. Sakit dari mulai bisul, cantengan, jerawat, sampai ayan di update di status. Cuaca juga gak ketinggalan. Dikasih hujan, ngeluh gak bisa kemana-mana. Dikasih panas ngeluh kepanasan. Segala maksiat juga disebarin di muka umum. Masalah duit abis, rezeki seret terus dan terus di suguhkan. Ibadah juga ada beberapa yang dipublikasikan puasa, sedekah, tapi alhamdulillah ane belum menemukan ada orang yang lagi sholat update status 'lagi roka’at dua nih' naudzubillah kalo sampai ada!” canda Ilmi. Ahmad dan Ranid pun tertawa dan mengaminkan ucapan Ilmi. “Terus di ayat setelahnya dikatakan 'apabila dapat kebaikan maka ia kikir.' Ane rasa betul ayat tersebut. Coba ente berdua hitung ada beberapa orang yang update status semisal alhamdulillah dapet rezeki, buat yang mau ditraktir harap tunggu di depan masjid. Kira-kira ada gak status kayak gitu. Giliran dapat rezeki yang melimpah pada pelit gak mau orang lain pada tau, tapi giliran ditimpa musibah di share kemana-mana.” “Ah, lo iri aja kali jangan sok jaim deh?!” Kali ini Ahmad yang bertanya kepada Ilmi. Ilmi pun menjawab “ane rasa jaim itu perlu, dalam konteks JAIM, Jaga-Iman berkaitan dengan hal malu, ane tidak mengharamkan update status, akan tetapi alangkah baiknya update-nya itu yang baik-baik pokoknya temanya mengajak kebaikan dari quran, hadits, sahabat, ataupun salafush sholih. Inget akh dalam hadits riwayat Bukhori dikatakan Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu. Ulama bilang bahwa jika kita udah gak malu sama Allah dan tidak merasa diawasinya maka tunaikan saja hawa nafsumu dan lakukan apa yang kau inginkan.” Jawab Ilmi. Ranid tak menyangka sahabatnya Ilmi dapat menarik dan mengaitkan surat Al-Ma’arij ayat 20-22 dengan fenomena Facebookers yang bergentayangan di dunia maya. Alhamdulillah bertambah satu lagi pengetahuan Ranid pada hari itu. Sungguh Ranid sejatinya sudah sering membaca atau bahkan menghafalkan surat ini. Namun dikarenakan kurang men-tadabbur-i ayat ini maka alangkah kagetnya ia mendengarkan penjelasan yang dipaparkan oleh sahabatnya Ilmi. http://ditonews.blogspot.com/2011/07/subhanallah-ternyata-fenomena-facebook.html

Jumat, 12 Agustus 2011

Sekilas tentang Bilal Bin Rabah

Bilal bin Rabah Al-Habasyi (wafat 20 H)

Namanya adalah Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, memiliki kisah menarik tentang sebuah perjuangan mempertahankan aqidah. Sebuah kisah yang tidak akan pernah membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya akan membuat setiap orang tetap penasaran untuk mendengarnya.

Bilal lahir di daerah as-Sarah sekitar 43 tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda’ (putra wanita hitam).

Bilal dibesarkan di kota Ummul Qura (Makah) sebagai seorang budak milik keluarga bani Abdud-dar. Saat ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir Quraisy.

Ketika Makah diterangi cahaya agama baru dan Rasul yang agung Shalallahu ‘alaihi wasallam mulai mengumandangkan seruan kalimat tauhid, Bilal adalah termasuk orang-orang pertama yang memeluk Islam. Saat Bilal masuk Islam, di bumi ini hanya ada beberapa orang yang telah mendahuluinya memeluk agama baru itu, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi, dan al-Miqdad bin al-Aswad.

Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik yang lebih berat dari siapa pun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Namun ia, sebagaimana kaum muslimin yang lemah lainnya, tetap sabar menghadapi ujian di jalan Allah itu dengan kesabaran yang jarang sanggup ditunjukkan oleh siapa pun.

Orang-orang Islam seperti Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib masih memiliki keluarga dan suku yang membela mereka. Akan tetapi, orang-orang yang tertindas (mustadh’afun) dari kalangan hamba sahaya dan budak itu, tidak memiliki siapa pun, sehingga orang-orang Quraisy menyiksanya tanpa belas kasihan. Quraisy ingin menjadikan penyiksaan atas mereka sebagai contoh dan pelajaran bagi setiap orang yang ingin mengikuti ajaran Muhammad.

Kaum yang tertindas itu disiksa oleh orang-orang kafir Quraisy yang berhati sangat kejam dan tak mengenal kasih sayang, seperti Abu Jahal yang telah menodai dirinya dengan membunuh Sumayyah. Ia sempat menghina dan mencaci-maki, kemudian menghunjamkan tombaknya pada perut Sumayyah hingga menembus punggung, dan gugurlah syuhada pertama dalam sejarah Islam.

Sementara itu, saudara-saudara seperjuangan Sumayyah, terutama Bilal bin Rabah, terus disiksa oleh Quraisy tanpa henti. Biasanya, apabila matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir Mekah berubah menjadi perapian yang begitu menyengat, orang-orang Quraisy itu mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik. Tidak cukup sampai di sana, orang-orang Quraisy itu mencambuk tubuh mereka sambil memaksa mereka mencaci maki Muhammad.

Adakalanya, saat siksaan terasa begitu berat dan kekuatan tubuh orang-orang Islam yang tertindas itu semakin lemah untuk menahannya, mereka mengikuti kemauan orang-orang Quraisy yang menyiksa mereka secara lahir, sementara hatinya tetap pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kecuali Bilal, semoga Allah meridhainya. Baginya, penderitaan itu masih terasa terlalu ringan jika dibandingkan dengan kecintaannya kepada Allah dan perjuangan di jalan-Nya.

Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”

Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”

Bilal menjawab, “Lidahku tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.

Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, sang tiran, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Abthah1 Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.

Suatu ketika, Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqiyah emas2.

Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, “Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya.”

Abu Bakar membalas, “Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk membelinya.”

Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa ia telah membeli sekaligus menyelamatkan Bilal dari cengkeraman para penyiksanya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Abu Bakar, “Kalau begitu, biarkan aku bersekutu denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar.”

Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku telah memerdekakannya, wahai Rasulullah.”

Setelah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan sahabat-sahabatnya untuk hijrah ke Madinah, mereka segera berhijrah, termasuk Bilal Radhiyallahu ‘anhu. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal satu rumah dengan Abu Bakar dan ‘Amir bin Fihr. Malangnya, mereka terkena penyakit demam. Apabila demamnya agak reda, Bilal melantunkan gurindam kerinduan dengan suaranya yang jernih,

Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti

Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil

Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah

Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil

Tidak perlu heran, mengapa Bilal begitu mendambakan Makkah dan perkampungannya; merindukan lembah dan pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya iman. Di sanalah ia menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridhaan Allah. Di sanalah ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.

Bilal tinggal di Madinah dengan tenang dan jauh dari jangkauan orang-orang Quraisy yang kerap menyiksanya. Kini, ia mencurahkan segenap perhatiannya untuk menyertai Nabi sekaligus kekasihnya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal selalu mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ke mana pun beliau pergi. Selalu bersamanya saat shalat maupun ketika pergi untuk berjihad. Kebersamaannya dengan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari pemiliknya.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selesai membangun Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan adzan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang mengumandangkan adzan (muadzin) dalam sejarah Islam.

Biasanya, setelah mengumandangkan adzan, Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berseru, “Hayya ‘alashsholaati hayya ‘alashsholaati…(Mari melaksanakan shalat, mari meraih keuntungan….)” Lalu, ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.

Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek yang termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal. Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat ‘id (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’ (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.

Bilal menyertai Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat. Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.

Ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan kota Makkah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama “sang pengumandang panggilan langit”, Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka’bah, beliau hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan putra dari kekasihnya, dan Bilal bin Rabah, Muadzin Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam.

Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam saat itu, baik dengan suka hati maupun terpaksa. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung itu. Pada saat-saat yang sangat bersejarah itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid dari sana. Bilal melaksanakan perintah Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam dengan senang hati, lalu mengumandangkan adzan dengan suaranya yang bersih dan jelas.

Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dan ribuan lidah mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang tidak beriman dengan sepenuh hatinya, tak kuasa memendam hasad di dalam dada. Mereka merasa kedengkian telah merobek-robek hati mereka.

Saat adzan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rasuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”. Juwairiyah binti Abu Jahal bergumam, “Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.” Maksudnya, adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar.

Khalid bin Usaid berkata, “Aku bersyukur kepada Allah yang telah memuliakan ayahku dengan tidak menyaksikan peristiwa hari ini.” Kebetulan ayahnya meninggal sehari sebelum Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masuk ke kota Makah.

Sementara Al-Harits bin Hisyam berkata, “Sungguh malang nasibku, mengapa aku tidak mati saja sebelum melihat Bilal naik ke atas Ka’bah.”

Al-Hakam bin Abu al-’Ash berkata, “Demi Allah, ini musibah yang sangat besar. Seorang budak bani Jumah bersuara di atas bangunan ini (Ka’bah).”

Sementara Abu Sufyan yang berada dekat mereka hanya berkata, “Aku tidak mengatakan apa pun, karena kalau aku membuat pernyataan, walau hanya satu kalimat, maka pasti akan sampai kepada Muhammad bin Abdullah.”

Bilal menjadi muadzin tetap selama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam hidup. Selama itu pula, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat di masa lalu, ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”

Sesaat setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam mengembuskan nafas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri untuk mengumandangkan adzan, sementara jasad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam masih terbungkus kain kafan dan belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.

Sejak kepergian Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam, Bilal hanya sanggup mengumandangkan adzan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.

Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar, yang menggantikan posisi Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin, agar diperkenankan tidak mengumandangkan adzan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.

Awalnya, Ash-Shiddiq merasa ragu untuk mengabulkan permohonan Bilal sekaligus mengizinkannya keluar dari kota Madinah, namun Bilal mendesaknya seraya berkata, “Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau telah memerdekakanku karena Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya.”

Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.”

Bilal menyahut, “Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan adzan untuk siapa pun setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam wafat.”

Abu Bakar menjawab, “Baiklah, aku mengabulkannya.” Bilal pergi meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Bilal benar-benar tidak mau mengumandangkan adzan hingga kedatangan Umar ibnul Khaththab ke wilayah Syam, yang kembali bertemu dengan Bilal Radhiyallahu ‘anhu setelah terpisah cukup lama.

Umar sangat merindukan pertemuan dengan Bilal dan menaruh rasa hormat begitu besar kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama Abu Bakar ash-Shiddiq di depannya, maka Umar segera menimpali (yang artinya), “Abu Bakar adalah tuan kita dan telah memerdekakan tuan kita (maksudnya Bilal).”

Dalam kesempatan pertemuan tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal agar mau mengumandangkan adzan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Ketika suara Bilal yang nyaring itu kembali terdengar mengumandangkan adzan, Umar tidak sanggup menahan tangisnya, maka iapun menangis tersedu-sedu, yang kemudian diikuti oleh seluruh sahabat yang hadir hingga janggut mereka basah dengan air mata. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Bilal, “pengumandang seruan langit itu”, tetap tinggal di Damaskus hingga wafat.

Radhiyallahu ‘anhu.

Mutiara Para Sahabat Nabi; Bilal bin Rabah; Sosok Muadzin Pertama Nun Berjiwa Tegar Dalam Berpegang Teguh Terhadap Aqidah
Tsaqafah Islamiyah
25/6/2008 | 20 Jumada al-Thanni 1429 H | 3.632 views
Oleh: Abu ANaS


Beliau adalah Bilal bin Rabah Al-habsyi –semoga Allah meridloinya-, beliau telah lebih dahulu mendengar seruan Rasulullah saw yang membawa agama Islam, yang menyeru untuk beribadah kepada Allah yang Esa, dan meninggalkan berhala, menggalakkan persamaan antara sesama manusia, memerintahkan kepada akhlak yang mulia, sebagaimana beliau juga selalu mengikuti pembicaraan para pemuka Quraisy seputar Nabi Muhammad saw.

Beliau mendengar tentang sifat amanah Rasulullah saw, menepati janji, kegagahannya, kejeniusan akalnya, menyimak ucapan mereka : “Muhammad sama sekali tidak pernah berdusta, beliau bukan ahli sihir, bukan orang gila, dan terakahir beliau juga mendengar pembicaraan mereka tentang sebab-sebab permusuhan mereka terhadap Nabi Muhammad saw.

Maka Bilal-pun pergi menghadap Rasulullah saw untuk mengikrarkan diri masuk Islam karena Allah Tuhan semesta alam, kemudian menyebarlah perihal masuknya Bilal kedalam agama Islam diseluruh penjuru kota Mekkah, hingga sampai kepada tuannya Umayyah bin Kholaf dan menjadikannya marah sekali sehingga ingin menyiksanya dengan sekeras-kerasnya.

Orang-orang kafir selalu menyiksa beliau dengan mengeluarkannya ke tengah padang pasir saat terik matahari, waktu yang menjadikan padang pasir seakan seperti padang api yang sangat panas, mereka melemparkan Bilal dengan bertelanjang diatas pasir yang terik , kemudian menindihkannya dengan batu yang sangat besar yang diletakkan diatas tubuhnya, dan penyiksaan yang kejam ini terus berulang setiap hari, namun Bilal tetap bersabar dan tabah dalam berpegang teguh terhadap agamanya, kemudian berkata Umayah bin Kholaf kepadanya : “Engkau akan terus seperti ini hingga mati atau engkau tinggalkan Muhammad, dan kembali menyembah Latta dan Uzza”. Namun Bilal tetap bersikukuh dan hanya dapat berkata : “Ahad, Ahad”.

Bilal tidak merasa dirinya hina setelah merasakan ni’matnya Iman sehingga tidak memperhatikan lagi apa yang menimpa dirinya di jalan Allah, kemudian para pemuka Quraisy menyuruh anak-anak mereka untuk berkeliling mengarak dirinya dilorong-lorong dan jalan-jalan kota Mekkah untuk memberikan pelajaran kepada siapa yang mengikuti jejak Muhammad, namun Bilal tidak mengucapkan kata-kata sedikitpun kecuali satu kalimat singkat : “Ahad, Ahad” sehingga Umayah naik pitam dan tambah marah serta menyiksanya kembali dengan kejam.

Pada suatu hari, saat Umayah bin Kholaf memukuli Bilal dengan pecutnya Abu Bakar Ash-Shidiq lewat dan berkata kepadanya : “Wahai Umayah tidakkah engkau takut kepada Allah dalam diri orang miskin ini ?” “Sampai kapan engkau akan berhenti manyiksa seperti ini ? “. Umayahpun berkata kepada Abu Bakar : “Engkau telah merusaknya dan saya ingin menyelamatkannya seperti yang engkau lihat”. Lalu Umayah mencambuknya kembali, hingga merasa putus asa dan meminta kepada Abu Bakar untuk membelinya, akhirnya Abu Bakar membelinya dengan 3 keping emas sebagai ganti dari pembebasan Bilal, setelah itu Umayah berkata kepada Abu Bakar : “Demi Latta dan Uzza, jika engkau abaikan ini dan engkau membelinya dengan 1 keping emas maka aku manjualnya kepadamu”. Lalu Abu Bakar berkata kepadanya : “Demi Allah jika engkau mengabaikannya dan ingin menjualnya dengan seratus keeping emas maka aku akan membelinya”. Kemudian Abu Bakar dan Bilal pergi menghadap Rasulullah saw dan mengabarkan kemerdekaannya.

Setelah Nabi saw dan kaum muslimin hijrah ke Madinah dan menetap disana, Rasulullah saw memilih Bilal untuk menjadi muadzin pertama untuk Islam, namun Bilal tidak hanya ditugaskan pada seputar adzan saja, tapi juga selalu menyertai Rasulullah saw dalam setiap peperangan, dan saat terjadi perang Badr sebagai petemuan pertama antara kaum muslimin dengan orang-orang Quraisy, orang-orang Quraisy membawa pasukannya dengan banyak, hingga berkecamuklah peperangan yang pada akhirnya kemenangan berada dipihak kaum muslimin.

Saat terjadi perang, Bilal menghadang Umayah dan berkata kepadanya : “Pemimpin kekufuran adalah Umayah bin Kholaf, saya tidak akan selamat jika jiwa dia selamat”. Akhirnya riwayat hidup Umayah berakhir di tangan Bilal, tangan yang sebelumnya banyak dibelenggu dengan rantai-rantai dari besi, dan tubuh yang selalu dicambuk dengan pacut.

Bilal hidup bersama Rasulullah saw dan selalu mengumandangkan Adzan unutk sholat, dan menghidupkan syi’ar agama ini yang telah mengeluarkannya dari kegelapan kepada cahaya, dari perbudakan pada kemerdekaan, hingga setiap hari kedekatan Bilal dengan Rasulullah saw kian bertambah yang mana beliau (Rasulullah saw) pernah mensifatinya dengan calon penghuni surga, namun demikian beliau tetap seperti biasa, Bilal yang ramah, sopan tidak pernah merasa dirinya lebih baik dari sahabatnya yang lain.

Suatu hari, Bilal pergi bermaksud meminang dirinya dan saudaranya kapada dua wanita, lalu berkata kepada kedua orang tuanya : “Saya adalah Bilal dan ini adalah saudara saya, seorang hamba dari Habsyah, kami pernah tersesat namun kemudian mendapatkan hidayah dari Allah, kami tadinya seorang hamba kemudian Allah memerdekakan kami, jika engkau menikahkan kami maka segala puji hanyalah untuk Allah, namun jika ditolak maka tidak ada daya dan upaya kecuali karena Allah”. Akhirnya mereka dinikahkan.

Bilal –semoga Allah meridloinya- merupakan seorang hamba yang taat, wara’, tekun beribadah, nabi pernah bersabda kepadanya setelah sholat subuh : “Ceritakan kepada saya perbuatan apa yang telah engkau lakukan dalam Islam, karena sesungguhnya pada suatu malam saya mendengar suara sendal kamu berada di pintu surga”, Bilal berkata : “Saya tidak melakukan sesuatu apapun yang lebih baik melainkan saya tidak pernah bersuci dengan sempurna pada setiap saat; baik malam dan siang hari kecuali saya melakukan sholat sebagaimana yang ditentukan untuk saya melakukan sholat”. (Al-Bukhari).

Bilal sangat sedih saat kepergian Nabi saw, dan beliau merasa tidak bisa tinggal di Madinah setelahnya, maka beliaupun meminta kepada khalifah Abu Bakar pergi ke Syam untuk berjihad di jalan Allah, dan menyebutkan hadits Rasulullah saw : “Seutama-utama perbuatan orang yang beriman adalah Jihad di jalan Allah”. (At-Thobroni). Kemudian Bilal pergi ke negeri Syam, lalu berjiahd disana hingga wafat –semoga Allah meridolinya-.

Rabu, 10 Agustus 2011

Latar Belakang Isra’ dan Mi’raj

Latar Belakang Isra’ dan Mi’raj
Sirah Nabawiyah
21/6/2011 | 20 Rajab 1432 H | Hits: 4.876
Oleh: Musyafa Ahmad Rahim, Lc


dakwatuna.com – Tersebutlah dalam sirah Nabawiyah bahwa Rasulullah SAW ditinggal mati oleh dua orang; Khadijah -radhiyallahu ‘anha- dan Abu Thalib. Padahal, selama ini dua orang tersebut telah berperan besar bagi dakwah Islamiyah.

1. Ummul Mukminin Khadijah -radhiyallahu ‘anha- , sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits, adalah:

- Wanita dan bahkan manusia pertama yang beriman kepada Rasulullah SAW.

- Seorang mukmin yang mengorbankan seluruh hartanya untuk dakwah, dan

- Seorang istri, yang darinya Rasulullah SAW mempunyai anak (keturunan).

2. Abu Thalib, meskipun belum beriman, namun, mengingat posisinya sebagai paman Rasulullah SAW, ia telah membela Rasulullah SAW dengan sangat luar biasa.

Namun, di tahun itu, keduanya meninggal dunia, maka beliau SAW sangat bersedih, dan karenanya, tahun itu disebut ‘amul huzni (tahun kesedihan). Kesedihan itu semakin lengkap, manakala Rasulullah SAW mencoba membuka jalur dakwah baru, Thaif. Siapa tahu, Thaif yang sejuk, dingin, hijau, mempunyai pengaruh besar terhadap warganya, sehingga sikap mereka barangkali sejuk dan segar dalam menerima dakwah beliau SAW. Tidak seperti Mekah (saat itu) yang keras, semuanya tertutup batu, sehingga “membatu” sikap mereka terhadap dakwah. Namun, bukannya kedatangan Rasulullah SAW di Thaif disambut, tapi malah disambit.

Singkat cerita, dalam perjalanan pulang ke Mekah, terjadi tiga peristiwa:

1. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang bernama Adas, dari Nainuwa, kampung halaman nabi Yunus AS. Dalam pertemuan itu, Adas menyatakan masuk Islam. Hal ini seakan mengatakan kepada Rasulullah SAW: “Jangan bersedih wahai Muhammad, kalau orang Mekah, orang Arab tidak mau beriman, jangan bersedih, nih buktinya, orang Nainuwa mau beriman”.

2. Rasulullah SAW bertemu dengan sekelompok jin, dan saat dibacakan Al-Qur’an kepada mereka, mereka menyatakan beriman. Hal ini seakan memberi message kepada Rasulullah SAW: “Seandainya pun seluruh manusia tidak mau beriman, engkau pun tidak peru bersedih wahai Muhammad SAW, sebab, bangsa jin telah membuktikan bahwa mereka siap beriman kepadamu”.

3. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Hal ini seakan berkata kepada Rasulullah SAW: “Bahkan, seandainya pun seluruh penghuni bumi, baik manusia maupun jin, tidak mau beriman kepadamu wahai Muhammad, engkau pun tidak perlu bersedih, sebab, buktinya, masyarakat langit semuanya gegap gempita menyambut kedatanganmu”.

Dari sudut pandang ini, peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan tasliyah (pelipur lara) yang sangat luar biasa bagi Rasulullah SAW.

Lalu apa pelipur lara kita?

Mestinya adalah shalat, sebab oleh-oleh Isra’ dan Mi’raj utamanya adalah shalat, dan Rasulullah SAW menjadikan shalat sebagai qurratu ‘ain dan sekaligus rahah (rehat). Wallahu a’lam.

Tiga “Bid’ah” Umar bin Al-Khaththab

Tiga “Bid’ah” Umar bin Al-Khaththab
Tarikh Islam
3/8/2011 | 04 Ramadhan 1432 H | Hits: 8.602
Oleh: Musyafa Ahmad Rahim, Lc


dakwatuna.com - Pada suatu malam, Khalifah Umar bin Al-Khaththab – radhiyallahu ‘anhu – keluar dari rumahnya menuju Masjid Nabawi.

Beliau mendapati berbagai macam orang yang melakukan qiyam Ramadhan:

- Ada yang melakukan qiyam sendirian,
- Ada yang melakukannya berduaan,
- Ada yang melakukannya dalam kelompok yang lebih besar dari itu.

Melihat keadaan yang demikian, maka amirul mukminin Umar – radhiyallahu ‘anhu – lalu menginstruksikan tiga hal:

1. Agar semua yang melakukan qiyam dalam banyak jamaah itu disatukan dalam satu jamaah dengan satu imam, dan ditunjuklah Ubay bin Ka’ab – radhiyallahu ‘anhu – sebagai imam, sebab beliau lah yang telah mendapatkan licence dari Rasulullah SAW sebagai Aqraukum, umat nabi yang paling bagus Qur’annya.

2. Memajukan waktu pelaksanaannya menjadi setelah shalat Isya’, di mana biasanya, dilakukan setelah tengah malam atau pada sepertiga malam yang terakhir.

3. Memperpendek tempo waktu pada setiap rakaatnya, di mana pada sebelumnya, tempo waktu rakaat sangat lama, atau istilahnya: “jangan tanyakan lama dan bagusnya”, karena memang luamma dan buagus.

Sebagai kompensasi atas “pemendekan” tempo waktu rakaat , maka jumlah rakaat-nya diperbanyak.

Terkait dengan 3 hal ini, amirul mukminin Umar bin Khaththab – radhiyallahu ‘anhu – berkata: “ni’mal bid’atu hadzihi” sebaik-baik bid’ah adalah hal ini.

Jumat, 05 Agustus 2011

Pendakian Gn. Gede, 22-24 Juli 2011

Alhamdulillah...sebelum memasuki bulan Ramadhan. Sempat-sempatnya naik ke Gunung Gede, Jawa Barat.





Kamis, 04 Agustus 2011

KOMITMEN MUSLIM TERHADAP MASJID

KOMITMEN MUSLIM TERHADAP MASJID
Oleh : Maikel

MUQODDIMAH
Masjid merupakan pusat pembinaan dan pengembangan umat ( QS 9 : 17-18 ).


Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka.

Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, emnunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.

KOMITMEN MUSLIM TERHADAP MASJID
1. Membangun dan memeliharanya

2. Mendatangi dan memakmurkannya

3. Tidak menyalahgunakan Masjid

4. Menunjukkan penghormatan kepada Masjid







Jonggol, 05 Agustus 2011 M
05 Ramadhan 1432 H