Latar Belakang Isra’ dan Mi’raj
Sirah Nabawiyah
21/6/2011 | 20 Rajab 1432 H | Hits: 4.876
Oleh: Musyafa Ahmad Rahim, Lc
dakwatuna.com – Tersebutlah dalam sirah Nabawiyah bahwa Rasulullah SAW ditinggal mati oleh dua orang; Khadijah -radhiyallahu ‘anha- dan Abu Thalib. Padahal, selama ini dua orang tersebut telah berperan besar bagi dakwah Islamiyah.
1. Ummul Mukminin Khadijah -radhiyallahu ‘anha- , sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits, adalah:
- Wanita dan bahkan manusia pertama yang beriman kepada Rasulullah SAW.
- Seorang mukmin yang mengorbankan seluruh hartanya untuk dakwah, dan
- Seorang istri, yang darinya Rasulullah SAW mempunyai anak (keturunan).
2. Abu Thalib, meskipun belum beriman, namun, mengingat posisinya sebagai paman Rasulullah SAW, ia telah membela Rasulullah SAW dengan sangat luar biasa.
Namun, di tahun itu, keduanya meninggal dunia, maka beliau SAW sangat bersedih, dan karenanya, tahun itu disebut ‘amul huzni (tahun kesedihan). Kesedihan itu semakin lengkap, manakala Rasulullah SAW mencoba membuka jalur dakwah baru, Thaif. Siapa tahu, Thaif yang sejuk, dingin, hijau, mempunyai pengaruh besar terhadap warganya, sehingga sikap mereka barangkali sejuk dan segar dalam menerima dakwah beliau SAW. Tidak seperti Mekah (saat itu) yang keras, semuanya tertutup batu, sehingga “membatu” sikap mereka terhadap dakwah. Namun, bukannya kedatangan Rasulullah SAW di Thaif disambut, tapi malah disambit.
Singkat cerita, dalam perjalanan pulang ke Mekah, terjadi tiga peristiwa:
1. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang bernama Adas, dari Nainuwa, kampung halaman nabi Yunus AS. Dalam pertemuan itu, Adas menyatakan masuk Islam. Hal ini seakan mengatakan kepada Rasulullah SAW: “Jangan bersedih wahai Muhammad, kalau orang Mekah, orang Arab tidak mau beriman, jangan bersedih, nih buktinya, orang Nainuwa mau beriman”.
2. Rasulullah SAW bertemu dengan sekelompok jin, dan saat dibacakan Al-Qur’an kepada mereka, mereka menyatakan beriman. Hal ini seakan memberi message kepada Rasulullah SAW: “Seandainya pun seluruh manusia tidak mau beriman, engkau pun tidak peru bersedih wahai Muhammad SAW, sebab, bangsa jin telah membuktikan bahwa mereka siap beriman kepadamu”.
3. Peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Hal ini seakan berkata kepada Rasulullah SAW: “Bahkan, seandainya pun seluruh penghuni bumi, baik manusia maupun jin, tidak mau beriman kepadamu wahai Muhammad, engkau pun tidak perlu bersedih, sebab, buktinya, masyarakat langit semuanya gegap gempita menyambut kedatanganmu”.
Dari sudut pandang ini, peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan tasliyah (pelipur lara) yang sangat luar biasa bagi Rasulullah SAW.
Lalu apa pelipur lara kita?
Mestinya adalah shalat, sebab oleh-oleh Isra’ dan Mi’raj utamanya adalah shalat, dan Rasulullah SAW menjadikan shalat sebagai qurratu ‘ain dan sekaligus rahah (rehat). Wallahu a’lam.
Rabu, 10 Agustus 2011
Tiga “Bid’ah” Umar bin Al-Khaththab
Tiga “Bid’ah” Umar bin Al-Khaththab
Tarikh Islam
3/8/2011 | 04 Ramadhan 1432 H | Hits: 8.602
Oleh: Musyafa Ahmad Rahim, Lc
dakwatuna.com - Pada suatu malam, Khalifah Umar bin Al-Khaththab – radhiyallahu ‘anhu – keluar dari rumahnya menuju Masjid Nabawi.
Beliau mendapati berbagai macam orang yang melakukan qiyam Ramadhan:
- Ada yang melakukan qiyam sendirian,
- Ada yang melakukannya berduaan,
- Ada yang melakukannya dalam kelompok yang lebih besar dari itu.
Melihat keadaan yang demikian, maka amirul mukminin Umar – radhiyallahu ‘anhu – lalu menginstruksikan tiga hal:
1. Agar semua yang melakukan qiyam dalam banyak jamaah itu disatukan dalam satu jamaah dengan satu imam, dan ditunjuklah Ubay bin Ka’ab – radhiyallahu ‘anhu – sebagai imam, sebab beliau lah yang telah mendapatkan licence dari Rasulullah SAW sebagai Aqraukum, umat nabi yang paling bagus Qur’annya.
2. Memajukan waktu pelaksanaannya menjadi setelah shalat Isya’, di mana biasanya, dilakukan setelah tengah malam atau pada sepertiga malam yang terakhir.
3. Memperpendek tempo waktu pada setiap rakaatnya, di mana pada sebelumnya, tempo waktu rakaat sangat lama, atau istilahnya: “jangan tanyakan lama dan bagusnya”, karena memang luamma dan buagus.
Sebagai kompensasi atas “pemendekan” tempo waktu rakaat , maka jumlah rakaat-nya diperbanyak.
Terkait dengan 3 hal ini, amirul mukminin Umar bin Khaththab – radhiyallahu ‘anhu – berkata: “ni’mal bid’atu hadzihi” sebaik-baik bid’ah adalah hal ini.
Tarikh Islam
3/8/2011 | 04 Ramadhan 1432 H | Hits: 8.602
Oleh: Musyafa Ahmad Rahim, Lc
dakwatuna.com - Pada suatu malam, Khalifah Umar bin Al-Khaththab – radhiyallahu ‘anhu – keluar dari rumahnya menuju Masjid Nabawi.
Beliau mendapati berbagai macam orang yang melakukan qiyam Ramadhan:
- Ada yang melakukan qiyam sendirian,
- Ada yang melakukannya berduaan,
- Ada yang melakukannya dalam kelompok yang lebih besar dari itu.
Melihat keadaan yang demikian, maka amirul mukminin Umar – radhiyallahu ‘anhu – lalu menginstruksikan tiga hal:
1. Agar semua yang melakukan qiyam dalam banyak jamaah itu disatukan dalam satu jamaah dengan satu imam, dan ditunjuklah Ubay bin Ka’ab – radhiyallahu ‘anhu – sebagai imam, sebab beliau lah yang telah mendapatkan licence dari Rasulullah SAW sebagai Aqraukum, umat nabi yang paling bagus Qur’annya.
2. Memajukan waktu pelaksanaannya menjadi setelah shalat Isya’, di mana biasanya, dilakukan setelah tengah malam atau pada sepertiga malam yang terakhir.
3. Memperpendek tempo waktu pada setiap rakaatnya, di mana pada sebelumnya, tempo waktu rakaat sangat lama, atau istilahnya: “jangan tanyakan lama dan bagusnya”, karena memang luamma dan buagus.
Sebagai kompensasi atas “pemendekan” tempo waktu rakaat , maka jumlah rakaat-nya diperbanyak.
Terkait dengan 3 hal ini, amirul mukminin Umar bin Khaththab – radhiyallahu ‘anhu – berkata: “ni’mal bid’atu hadzihi” sebaik-baik bid’ah adalah hal ini.
Langganan:
Postingan (Atom)