Rabu, 21 September 2011

Bijak dalam memberi nasihat dan kritik

Bijak dalam memberi nasihat dan kritik Oleh : Maikel “ Demi masa. Sesungguhya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran." (QS. Al-Ashr : 1-3) Nasehat dalam Al Qur’an Makna dari nasihat adalah ‘menyuruh kebajikan dan melarang kemungkaran’, yaitu mengajak orang lain untuk mengerjakan perbuatan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah SWT dan mengajaknya untuk tidak melakukan perbuatan yang malah dapat menjauhkan diri dariNya. Dan merupakan tugas setiap muslim baik perempuan maupun laki-laki untuk saling nasihat menasihati seperti dalam firman-Nya : “Dan hendaklah ada dari antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Ali Imran 4: 104). Dalam perjalanan hidup, nasehat-menasehati merupakan pilar yang sangat utama, bahkan merupakan kewajiban bagi orang yang beriman setiap waktu. Hal ini dapat dilihat dari surah Al Ashr tersenut diatas. Surah ini merupakan pegangan paling kuat dalam menjalankan nasehat-manasehati. Bahkan Imam Syafiie, seorang ulama fiqih yang masyhur itu, menyatakan bahwa, jika al-qur’an pun hanya surah al ashr, maka cakupan maknanya sudah cukup. Dalam surah ini Allah swt bersumpah atas nama waktu (Ashr). Secara bahasa ashr bermakna memeras dan menekan sesuatu hingga apa yang di dalam sesuatu itu keluar. Maka ashr menjadi nama suatu waktu dimana orang yang kerja seharian memeras keringat mulai terbit matahari, pekerjaannya itu telah mulai menampakkan hasil. Dan waktu menampakkan hasil itulah disebut waktu ashr. Dan memang dalam kehidupan keseharian adalah demikian, dimana orang kerja dari pagi buta makan hasilnya akan tampak maksimal di waktu ashr. Demi waktu sesungguhnya manusia itu dalam kondisi husrin, apapun hasilnya dari memeras keringat seharian atau sepanjang waktu hidupnya, baik itu sukses atau gagal, kaya atau pun miskin, maka sudah disumpah oleh Allah swt, pasti husrin. Husrin ini biasanya diterjemahkan dalam arti merugi, padahal sesungguhnya husrin ini adalah mencakup semua makna yang berkaitan dengan rugi yakni bangkrut, menderita, kolaps, sedih, susah, sengsara dan semua kondisi yang serupa sesungguhnya dicakup dalam kata husrin. Apapun hasil kerja sepanjang hidupnya pasti dalam keadaan husrin. Namun Allah swt memberikan pengecualian yang ditunjukkan pada ayat sesudahnya di surah al ashr ini. Pengecualian ini adalah pada orang yang beriman dan beramal shalih dan saling menasehati dalam al haq dan saling menasehati dalam kesabaran. Jika ditelaah lebih lanjut, orang yang beriman memang tidak lagi merugi tetapi belum beruntung, karenanya ayat itu dilanjutkan dengan kata ‘wa’ yang artinya dan , yakni beramal shalih. Orang yang beriman dan beramal shalih pun belum beruntung, karena ayat itu masih dilanjutkan dengan kata ‘wa’ yakni saling menasehati dalam al haq. Dalam hal ini terjemahan al-Qur’an disebutkan saling menasehati dalam kebenaran, namun jika ditilik lebih dalam maka Al Haq adalah salah satu dari Asma’ul husna, artinya al Haq adalah nama Allah , sehingga watawasau bil haq dapat diartikan lebih spesifik yakni saling menasehati agar senantiasa di jalan Allah (jalan al Haq) . Tentu dalam hal ini bermakna dakwah, sebab saling menasehati agar senantiasa di jalan Allah adalah dakwah. Namun demikian, orang yang berdakwah setelah beriman dan beramal shalih pun belum akan memperoleh keberuntungan, sebab ayat itu masih dilanjutkan dengan kata ‘wa” tawassau bisshabr. yang artinya adalah saling menasehati dalam hal kesabaran. Jika dianalisa maka arti maknanya adalah saling menasehati agar senantiasa sabar dalam menjalani hidup beriman dan beramal shalih, dan sabar dengan jalan hidup berdakwah. Memang kata yang digunakan dalam surah ini adalah tawasau, artinya saling memberi wasiat . Dengan demikian nasehat pun sesungguhnya identik dengan wasiat. Nasehat dalam Hadits Dari Abu Ruqoyah Tamim Ad Daari radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda : Agama adalah nasehat, kami berkata : Kepada siapa ? beliau bersabda : Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya dan kepada pemimpan kaum muslimin dan rakyatnya. (Riwayat Bukhori dan Muslim). Ini menekankan bahwa nasehat merupakan jalan hidup, merupakan pilar utama dalam islam. Bagaimana sikap dalam menasehati Dalam Al-qur’an, kisah tentang bagaimana menasehati ini termaktub dalam kisah Musa as diperintah oleh Allah untuk mendatangi Fir’aun. Musa as diperintahkan oleh Allah untuk memberikan nasehat dakwahnya kepada Fir’aun dengan ‘’qaulan layyinan” perkataan yang lembut. Bagaimana caranya memberi nasehat kepada manusia yang sangat tegas kekafirannya dan menjadi puncak lambang kekafiran, pun dengan qaulan layyinan. Maka dari situlah nabi Musa as berdoa dengan Rabis rahli sadri wayasrlii amrii……… Jika memberi nasehat kepada orang sesama muslim maka pedomannya adalah dengan perkataan yang lembut dan ‘adzilatin alal mukminin” – bersikap lemah lembut kepada orang mukmin . Bahkan dalam hadits rasulullah mengajarkan kita untuk bersuara dengan nada yang tidak lebih tinggi dari saudara sesama muslim. Banyak keutamaan yang didapat dari merendahkan nada suaranya, dan meninggikan nada suaranya menunjukkan mudahnya dijangkiti penyakit sombong. Bahkan suara yang nadanya tinggi diserupakan dengan serengaian keledai. Terkisah banyak sahabat yang sedih dan mengurungkan diri di dalam kamarnya beberapa hari setalah turun ayat yang menyuruh ‘rendahkanlah suaramu di hadapan rasulullah” karena para sahabat merasa selama ini menggunakan nada tinggi dihadapan rasulullah. Bagaimana Mengkritik dalam berdakwah Menasehati dalam dakwah, pun tidak terlepas dari tuntunan Al Quran. Cara berdakwah disebutkan adalah, dengan bil hikmah wal mauizatil hasanah wa jadilhum billati hiyal ahsan . Jika ditilik dari urutan teksnya maka dalam memberikan nasehat dakwahnya yang pertama adalah dengan hikmah. Ini adalah dakwah yang paling pertama yang hendaknya digunakan. Jika dengan hikmah orang sudah bisa menerima dakwah maka tidak perlu sampai menggunakan mauizatil hasanah (nasehat yang baik/ bijak) apalagi dengan jidal (mengadu argument), meskipun dengan jidal yang terbaik sekalipun. Bila dakwah dilakukan dengan cara terbaik yang mendahuluhan nasehat yang bijak sebelum hikmah, maka sesungguhnya tidak akan efektif dan tidak methodis, disamping kurang dalam nilai etika dakwahnya. Apalagi jika dakwah dilakukan dengan pertama kali jidal tentu tidak akan menuai hasil yang baik. Meskipun kapan menggunakan hikmah, kapan menggunakan mauizatil hasanah dan kapan menggunakan jidal itu tergantung situsi kondisi dan juga objek dakwahnya. Jika ditelaah lebih lanjut, hikmah sangat bagus digunakan untuk orang yang lebih muda kepada orang tua, mad’u yang tidak sedang melakukan khilaf, juga kepada orang yang dihormati. terkisah ada seorang ulama yang sangat sedih dan sangat merasa kehilangan ketika putranya meninggal, sampai berlarut-larut. Maka memberikan nasehat kepadanya adalah dengan hikmah, dengan pertanyaan; “bagaimana pendapat Anda wahai ulama, jika seseorang dititipin emas oleh penitip dan emas itu diambil kembali oleh yang empunya? apakah perlu sedih berlarut-larut dan tidak ikhlas?, maka sang ulama tersadar akan pertanyaan itu atas kematian putranya dengan menjadi ikhlas. Tidak elok jika memberikan mauizail hasanah kepada ulama itu. Di dalam mengelola taklim pun demikian, audience akan lebih merasa dihargai jika penceramah lebih mengedepankan hikmah daripada mauizatil hasanah. Potensi dan kegemaran menasehati perlu ditahan dalam hal ini dengan lebih melebarkan cara, topik dan tema-tema yang masuk dalam wilayah hikmah. Mauizatil hasanah (nasehat yang bijak) diberikan kepada orang yang sedang khilaf, kepada orang yang lebih muda, kepada murid, kepada orang yang posisinya lebih bawah. Misal seorang ayah kepada anaknya, atau guru kepada muridnya. Termasuk dalam kategori tidak begitu beradap jika seorang anak meggunakan mauizatil hasanah kepada bapaknya, istri menggunakannya kepada suaminya, seorang mutarabi kepada murobinya, seorang murid kepada ustadznya. Jidal ahsan dilakukan jika cara hikmah dan mauizatil hasanah tidak mempan, ini pilihan terakhir. Da’i yang gemar jidal dan menjadikan jidal sebagai cara awal untuk berdakwah, biasanya mad’u akan lari dan tidak menerima dakwah, terkadang malah menjadi sinis. Jika pun berhasil maka akan menghasilkan dai-dai yang suka jidal dan tidak efektif membawa masyarakat secara luas menjadi mukmin. Di sinilah Ust Hasan Al Bana menyampaikan slogan likulli maqal maqam wa likulli maqam maqal, setiap tempat ada perkataan yang pas dan setiap perkataan ada tempat-tepatnya yang pas. Bagaimana dengan mengkritik ?. Maka mengkritik adalah bagian dari mauizatil hasanah, bukan bagian dari hikmah, meskipun ada sebagian orang yang bisa mengemas kritik dengan hikmah. Demikian juga dalam konsep bermasyarakat, ada Roin dan ada Rokyah, yang secara arti adalah ada pemimpin dan ada rakyat, yang keduanya ada hak dan kewajiban. Dalam hal ini roin berkewajiban mensejahterakan rakyat dan memiliki hak untuk ditaati, dan rakyat memiliki hak untuk disejahterakan dan berkewajiban mentaati roin. Jika roin tidak mensejahterakan rakyat maka rakyat pun menjadi tidak taat kepada roin. Dalam hubungan nasehat, maka roin memberi perintah kepada rakyat dan rakyat bisa mengkritik pemimpin. Tidak bisa sebaliknya misalnya pemerintah mengkritik rakyatnya atau rakyat memerintah roinnya, yang ada adalah rakyat mengkritik dan menuntut roinnya. Hal ini sama dengan hal dalam rumah tangga, suami sebagai pemimpin tidak mengkritik istrinya, tetapi istrinya yang mengkritik suaminya. Jika suami tidak siap dikritik istri maka kadar kepemimpinannya sangat rendah, demikian juga jika istri tidak mau diperintah suami, maka juga demikian. Dalam hubungan pemerintah juga demikian, oposisi mengkritik pemerintah dan tidak bisa sebaliknya pemerintah mengkritik oposisinya. Dengan demikian orang yang suka mengkritik biasanya memiliki kadar kepemimpinan yang tidak tinggi dan tidak menjadi pemegang kebijakan tetapi biasanya menjadi oposan. Oposan biasanya mengkritik dan tidak siap dikritik. Jika seseorang siap dikritisi adalah seseorang yang siap jadi pemimpin, jika tidak siap maka tidak siap mengelola suatu amanah. Jika seorang roin tidak siap menerima kritik rakyatnya maka sungguh aneh dan apalagi roin mengkritik rakyatnya akan lebih aneh lagi. Dalam mengkritisi pun tidak lepas dari kaidah qaulan layyinan, hikmah dan mauizatil hasanah serta jidal sebagai jalan akhir. Siap menerima kritikan berarti siap menjadi pemimpin. Terkadang dalam mengkritik yang dikritik dalam pengelolaan pemerintahan, atau suatu organisasi, terkadang personal roinnya. Orang yang kritis biasanya ditempatkan pada posisi oposisi bukan eksekutif, dan biasanya tidak diterima di eksekutif karana belum imbangnya dengan kesiapan untuk dikritisi. Dan dari sana ia memberikan manfaat, sebagai penyeimbang. Gawatnya, ketika memberikan nasihat kita semangat, ketika memberikan saran semangat, ketika memberikan koreksi semangat, akan tetapi ketika giliran kita dikoreksi justru kita tidak sanggup menerimanya. Oleh karena itu kepada siapapun yang akan memberikan nasihat, syarat utamanya adalah kita harus menjadi orang yang terlatih untuk menerima nasihat, terlatih untuk menerima kritik, dan terlatih untuk menerima koreksi.Sebelum kita sanggup untuk melatih diri kita, sulit sekali kita dapat memberi nasihat yang memiliki kekuatan yang menggugah dan memberi perubahan. Nah, secara sederhana di sini ada beberapa kiat yang dapat kita terapkan dalam menerima nasihat atau kritik agar dapat menjadi sarana pembangunan kemuliaan. Pertama, rindu kritik dan nasihat. Kita harus memposisikan diri menjadi orang yang rindu dikoreksi, rindu dinasihati, seperti rindunya kita melihat cermin agar penampilan kita selalu bagus. Walaupun wajah yang ada dalam cermin adalah wajah yang itu-itu juga, namun kita tidak pernah keberatan untuk merapikan rambut, manakala cermin memperlihatkan gambar rambut yang acak-acakan. Kita pun tidak pernah marah kepada cermin bila di cermin kita melihat di mata kita ada kotoran. Reaksi kita adalah membuang kotoran itu dan bukan memecahkan cermin. Ketahuilah, orang-orang di sekitar kita adalah cermin yang memberitahukan apa kekurangan kita. Sehingga sepatutnyalah kita bergembira ketika ada yang memperlihatkan kekurangan kita, karena dengan demikian kita menjadi tahu dan dapat segera memperbaiki diri. Kedua, cari dan tanya. Belajarlah bertanya kepada orang tentang kekurangan-kekurangan kita dan belajar pula untuk mendengar dan menerima kritik. Milikilah teman yang mau jujur mengoreksi, tanya pula kepada istri, suami, anak-anak, karyawan dan lain-lain. Ketiga, nikmati kritik. Persiapkan diri menghadapi kenyataan bahwa kritik tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Kritik selain mengandung isi juga melibatkan cara. Kadang isinya benar tetapi caranya kurang bijak. Ada yang isinya salah tetapi caranya benar. Ada yang isi maupun caranya salah. Adapula yang isi dan caranya juga benar. Namun tidak ada kerugian sedikitpun bagi kita selama cara kita menyikapinya benar. Dengarkan dengan baik dan jangan memotong apalagi membantah. Keempat, syukuri. Adanya orang yang peduli dengan memberikan kritik kepada kita merupakan karunia yang patut disyukuri. Jangan lupa mengucapkan terima kasih. Bila kita berubah menjadi lebih baik melalui nasihat seseorang, jangan lupakan ia dalam doa kita dan sebutlah namanya ketika kita menyampaikan nasihat yang sama kepada orang lain. Nikmati kritik itu sebagai karunia Allah, karena seseorang tidak akan mati karena dikritik. Kelima, perbaiki diri. Lihatlah apakah benar ada kekurangan pada diri kita. Jawaban terbaik ketika dikoreksi bukanlah membela diri tetapi memperbaiki diri. Sibukkan diri dengan mendengar kritik dan iringi dengan memperbaiki diri. Memang orang yang lemah, orang yang sombong, orang-orang yang penuh kebencian, tidak pernah tahan terhadap kritik. Jika ada yang mengkoreksi maka dirinya sibuk untuk membela diri, sibuk untuk berpikir dan sibuk untuk membalas, ketahuilah bahwa orang yang demikian itu tidak akan bisa maju. Lalu bagaimana jika lalu kita dihina terus? Jangan risau! Karena semua orang yang sukses dan mulia itu pasti ada yang menghina. Tidak akan pernah didengki kecuali orang yang berprestasi. Keenam, balas budi. Sebagai orang yang tahu terima kasih dan menghargai sebuah pemberian, sudah selayaknya kita membalas pemberian kritik itu sebagai pemberian hadiah pula. Kalau tidak mampu memberikan sesuatu yang berharga, paling tidak sebuah ucapan terima kasih yang tulus dan doa yang ikhlas. Saudaraku, nasihat yang baik yang boleh kita sampaikan adalah nasihat yang benar, mengandung muatan positif dan tentunya penuh makna dan manfaat bagi semua orang yaitu mengajak pada kebajikan dan menjauhi kemunkaran yang berdasarkan Al Quran dan As Sunnah. Dan bukanlah sebaliknya, menganjurkan kemungkaran dan melarang untuk mengerjakan kebajikan. Sebagai catatan, apapun yang kita sampaikan jika itu benar, alangkah baiknya jika cara menyampaikannya pun benar. Dengan nasihat kita harus membantu yang lupa agar menjadi ingat, membantu yang lalai agar menjadi semangat, yang tergelincir menjadi bangkit kembali, yang berlumur dosa menjadi bertobat, intinya kalau dilandasi niat yang baik akan melahirkan kebaikan juga. Ingatlah! Yang paling penting dari suatu nasihat, kritik, dan koreksi itu adalah niat yang mendasarinya. Kalau didasari niat ingin menjatuhkan, koreksi itu hanya akan menjadi pisau atau panah beracun.Harusnya nasihat kita itu dilandasi dengan rasa kasih sayang dan persaudaraan. Kalau niat sudah baik caranya juga harus benar. Nabi Muhammad Saw itu adalah seorang penasihat, tetapi nasihatnya itu betul-betul bil hikmah, semuanya penuh dengan kearifan dan kematangan. Beliau memperbaiki peradaban yang begitu keras dan berat justru dengan kelembutan. Pendek kata, kita butuh nasihat yang tulus dari hati yang penuh kasih sayang dengan kata-kata yang terpilih yang tidak melukai diiringi dengan sikap yang tidak menggurui, tidak mempermalukan, tidak memojokan, sehingga orang berubah bukan karena ditekan oleh kata-kata kita melainkan tersentuh oleh kata-kata kita. Sahabat-sahabat, marilah kita terus berlatih untuk menyayangi orang lain karena itulah sumber yang utama agar nasihat kita menjadi bijak dan penuh kemuliaan. Dan sebaik-baik nasihat adalah dengan suri tauladan, hancurnya orang-orang yang sibuk memberi nasihat adalah ketika apa yang dia katakan tidak sesuai dengan apa yang dia lakukan. Wallahu a’lam bishawab Jakarta, 21 September 2011 Sumber : 1. http://www.naqshbandibatam.org/keagamaan/artikel-dan-tulisan-islam/semangat-saling-menasehati.html 2. http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:6E-PVWNW6RMJ:abinabilah.wordpress.com/2009/07/26/bijak-dalam-menasehati/+materi:bijak+dalam+memberi+nasihat+dan+kritik&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id 3. http://haditsarbain.wordpress.com/2007/06/09/hadits-7-agama-adalah-nasihat/